Perjuangan Murid SD Bisoli Mencapai cita-Cita

Perjuangan Murid SDN Bisoli Mencapai Cita-Citanya (1)

Setiap Hari Seberangi Sungai Seluas 15 meter
TUNTUTLAH Ilmu hingga ke negeri Cina. Pepatah itu cukup tepat bagi puluhan murid SD Bisoli, di Kecamatan Bangkala Barat, Jeneponto. Saban hari, mereka harus menyeberangi sungai seluas 15 meter menuju sekolahnya.

Laporan : Mallombassang
Jeneponto

Mimpi adalah kunci, untuk kita, menangkulkan dunia berlarilahhhh, tanpa lelah, sampai engkau meraihnya, itulah lirik lagu Laskar Pelangi yang mirip yang dialami Siswa-siswi SDN Bisoli.
  JARUM jam masih menunjukkan pukul 07.00 wita. Ditepi sungai To'pa yang menjadi batas antara desa Tuju dan Banrimanurung, warga sudah ramai berkumpul. Mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Udara pagi cukup dingin menusuk kulit.Yuli, 10 murid SD Bisoli yang tinggal di desa Tuju, mulai bersiap-siap menyeberangi sungai To'pa yang lebarnya sekira 15 meter dengan tinggi air mencapai 30 centimeter pada kondisi normal.

Seragam, sandal jepit, tas, buku, dipegang dengan tangan kanan, sementara tangan kiri mengangkat celana bagi anak laki, sedang anak perempuan mengangkat rok. Walau begitu, pakaian mereka kerap terkena air sungai. Sekitar 10 hingga 20 menit mereka tiba di ujung sungai. Bersih-bersih sejenak lalu anak-anak itu berlari menuju sekolahnya yang tinggal 200-an meter.

Itu dalam kondisi normal. Saat sungai banjir, ketinggian mencapai air mencapai pundak orang dewasa. Terpaksa, murid-murid itu harus dipanggul oleh orang yang lebih dewasa. Sungai To'pa adalah jalan terdekat dari desa Tuju menuju ke desa Banrimanurung, tempat SD Bisoli.
Ada jalan darat tetapi harus memutar. Jaraknya mencapai satu kiloan menuju SD Bisoli. Di batas desa ada ojek yang siap mengantar. Tarifnya, Rp3 ribu. Namun, murid-murid lebih memilih menyeberangi sungai. Maklum saja, nilai uang Rp3 ribu cukup besar bagi mereka yang rata-rata orang tuanya adalah petani. Lagipula, banyak diantara murid yang berangkat ke sekolah tetapi belum mandi.

" Jadi sekalian, di sungai bisa mandi lalu langsung ke sekolah." kata Yuli. SD Bisoli adalah satu-satunya sekolah dasar di daerah itu. Memang ada satu sekolah lainnya yang cukup dekat namun anak-anak takut bersekolah di sana. Lokasinya, berada di kuburan.
Jika hujan turun, terpaksa puluhan murid SD tersebut tidak masuk sekolah. Mereka khawatir, akan terjadi banjir yang bisa membahayakan jiwanya. Air baru surut selama dua hari. Begitu juga saat mendung tiba. Murid-murid yang berasal dari desa Tuju, dipulangkan lebih awal oleh gurunya.
Walau untuk mencapai sekolah medannya sangat berat, namun siswa-siswa tidak patah semangat. Mereka tetap bertekad untuk bersekolah guna mencari ilmu. " Saya ingin meneruskan sekolah setinggi-tingginya," tekad Yuli. Cita-citanya sungguh mulia. Menjadi pahlawan tanpa tanda jasa atau guru. (bersambung).

Perjuangan Murid SDN Bisoli Mengejar Cita-cita (2-selesai)

Bosan Seberangi Sungai, Terpaksa Putus Sekolah
LANTARAN akses menuju sekolah yang sulit banyak siswa yang terpaksa putus sekolah. Mereka lebih memilih membantu orang tuanya di kebun atau sawah.

Laporan : Mallombasang
Jeneponto

"SAYA dan teman-teman sering dua sampai tiga hari tidak bisa ke sekolah kalau air sungai meluap. Kami inginnya di sini ada jembatan gantung biar ke sekolah lancar karena tak terpengaruh banjir yang bisa tiba-tiba datang," harap Yuli, siswa kelas III SDN Bissoli.

Apa yang diungkapkan Yuli adalah harapan yang sama dari seluruh warga Desa Tuju kecamatan Bangkala Barat, Jeneponto. Desa itu dihuni sekitar seribu Kepala Keluarga (KK). Menurut salah seorang tokoh masyarakat Desa Tuju, Darwis Narang, masyarakat sudah beberapa kali mengusulkan kepada pemerintah daerah agar dibuatkan jembatan gantung yang menghubungkan antara desa Tuju dan Banrimanurung.

Hanya saja, hingga saat ini belum ada realisasi. Pemkab terkesan menutup mata dan memberikan janji-janji manis. Darwis juga mengaku bosan setiap hari menyeberangkan anak-anak yang ingin ke sekolah. Tapi karena sadar pendidikan jauh lebih penting, perasaan itu ditanggalkan. Orang tua siswa tetap setia menyeberangkan anaknya melewati sungai To'pa seluas 15 meter.

Namun, banyak diantara orang tua yang tidak sadar. Karena bosan setiap hari mengantar anaknya, banyak diantaranya yang terpaksa putus sekolah atau hanya sampai SMP. Alasannya senada. " Capek menyeberangi sungai setiap hari". " Coba ada jembatan yang menghubungkan dua desa, pasti banyak anak-anak yang tetap sekolah," kata Kepala SDN Bisoli, Kare Layu.

Bila banjir kata dia, siswa dari Desa Tuju nyaris tidak ada yang pergi ke sekolah. Pihak sekolah pun sudah maklum atas kondisi itu. Diakuinya, sekolahnya memang mendapat bantuan dari pemerintah. Tapi itu tidak ada artinya, bila akses jembatan menuju sekolah belum dibangun. Apalagi dua kampung yang berada di desa Tuju dan Desa Banrimanurung yakni Kampung Jonggoa, dan Pa'rasangen Beru, akses jalannya rusak parah.

Keterisoliran warga diperparah dengan belum adanya aliran listrik. Kehidupan malam dilalui dengan gelap gulita. Sulitnya akses jalan juga berdampak pada pertumbuhan ekonomi masyarakat setempat. Hasil panen baik padi dan palawija tak jarang membusuk di gudang. " Dan, bila ada warga yang sakit atau mau melahirkan tidak bisa segera dibawa ke puskesmas kalau sedang banjir. Ada yang sampai meninggal dunia karena lambat dibawa k Puskesmas," imbuh Darwis. (*)

Related product you might see:

Share this product :
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Mallombasang Kapi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger