Melirik Monumen Batalyon Worang di Butta Turatea
Mendarat di Jeneponto Akibat Gempuran KNIL di Makassar
Laporan : MALLOMBASANG, Jeneponto
MONUMEN Batalyon Worang dibangun di Jeneponto pada 1976. Monumen ini untuk mengenang pendaratan pasukan TNI-AD Batalyon Worang yang mendarat di Pantai Ujung Loe, Kecamatan Binamu, Jeneponto.
Karena terdesak di laut akibat serangan mortar tentara KNIL, terpaksa pasukan yang dipimpin Mayor Inf Hein Victor Worang (dari Jawa) berputar haluan dan mendarat di Pantai Ujung Loe, Jeneponto.
Monumen yang dibangun pada era 70-an di perempatan Jl Belokallong, begitu terlihat patriotik dan menggugah nemangat nasionalis.
"Sebelum melakukan pendaratan, terlebih dahulu pejuang rakyat Turatea tergabung dalam pasukan Harimau Indonesia, Kesatuan Gerilya Sulsel, Mobil Batalyon Daerah Jeneponto, Laskar Pejuang Turatea (Laptur), dan Lipang Bajeng dipimpin komandan, Nasir Said (rektor pertama Unhas) melakukan pertempuran untuk melucuti senjata KNIL.
"Setelah berhasil melucuti senjata tentara KNIL, barulah pasukan Batalyon Worang di bawah pimpinan Mayor Inf HV Worang bersama Wakil Komandan Batalyon Kapten Andi Oddang mendarat dan bergabung dengan pasukan gerilya," tutur Ketua Legiun Veteran Jeneponto, Maddatuang DT. Ia menjadi saksi sejarah yang masih hidup.
Usai melakukan pendaratan, esok harinya, pada 20 April 1950, pasukan tempur Batalyon Worang berangkat ke Makassar untuk membantu melawan tentara KNIL yang masih bercokol di Makassar, dan melucuti senjatanya.
Untuk mengenang pendaratan batalyon tempur dari Jawa ini, kata Maddatuang DT, dibuatlah monumen. Sementar yang menjadi simbol patung itu adalah, Mayor Inf HV Worang dan diapik pasukan gerilya.
Sedangkan dalam catatan prasasti terdapat sejumlah tokoh penting seperti, Andi Oddang dan Syamsuddin DL.
"Setelah kita melakukan penjemputan, serta berangkatnya pasukan Worang ke Makassar, kita pun bergegas menuju Bantaeng, Bulukumba, Sinjai, dan Bone untuk membantu pasukan gerilyawan mengusir KNIL yang belum meninggalkan Sulsel ketika itu," kenangnya.
Di Bantaeng, kata Maddatuang, berhasil melucuti senjata KNIL 30 pucuk, berkat hubungan komunikasi dengan tentara bernama Karaeng Bella.
Kemudian setelah berhasil melucuti senjata KNIL di Bantaeng, dilanjutkan ke Bulukumba. Dalam pertempuran itu, mendapat kendala karena tidak ada hubungan komunikasi sehingga pasukan gerilya naik gunung, sambil melakukan perlawanan.
Saat itu, berhasil melucuti senjata KNIL sebanyak 40 pucuk. Sementara di Sinjai, lanjut dia, melakukan perlawanan selama tujuh hari, baru berhasil melucuti senjata KNIL sebanyak 30 pucuk.
"Usai melucuti senjata, kita kembali melakukan gerilya ke Bone membantu teman-teman di sana, dan berhasil menguasai Bone," tambah Maddatuang DT.
Pelaku tokoh sejarah di Jeneponto yang masih hidup sisa tiga orang di antaranya, Iskandar Sila, Makkalau Rewa, dan Maddatuang. Saat itu, Maddatuang sendiri menjabat Komandan Kesehatan Pejuang Rakyat Turatea. (*)